Insiden Natuna dan Nasionalisme di Mata Seorang Tionghoa

avatar


Sumber Foto : wikipedia, okezone, tirto.id, infobudaya.net

Artikel ini pernah tayang di Kompasiana

Sebetulnya saya agak enggan menulis ini, tapi setelah melalui perenungan beberapa hari akhirnya saya memutuskan untuk menulisnya dan mempublikasikannya.

Saya merasa ragu apakah nantinya tulisan ini termasuk tulisan sensitif yang berkaitan dengan SARA (suku, ras dan agama) atau tidak, akan tetapi saya hanya bisa menyerahkan penilaian tersebut kepada admin Kompasiana, Kompasianer dan pembaca umum.

Topik yang saya tulis ini sebenarnya sudah saya pendam selama bertahun-tahun dan berdasarkan pengalaman dari semenjak masa kecil. Sebenarnya hal ini tabu bila diungkapkan ketika pada masa Orde Baru berkuasa.

Di awal hari-hari setelah melewati titik tahun baru 2020, kira-kira jam dua pagi, sebuah pesan Whatsapp menganggu tidur saya. Setelah saya lihat pesan itu ternyata dari seorang teman yang lagi memikirkan insiden yang terjadi di perairan laut Natuna. Dalam pesannya dia khawatir insiden pelanggaran ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) perairan laut Natuna oleh kapal nelayan China yang dikawal oleh Coast Guard-nya berimplikasi pada permasalahan konflik horisontal internal (dalam hal ini masalah SARA) di kalangan masyarakat Indonesia.

Teman saya yang satu ini takut nantinya keturunan Tionghoa di Indonesia akan kena imbas masalah insiden Natuna tersebut bila terjadi insiden konflik senjata antara TNI AL dan Coast Guard China.

Menurut teman saya yang satu ini (seorang keturunan Tionghoa), ditakutkan akan timbul konflik horisontal yang menyalahkan etnis Tionghoa. Dengan tenang saya menjawab pesannya dengan kalimat yang menenangkannya.

Saya menyakinkan dia bahwa Cina tidak akan segoblok itu akan berani membuka front konflik dengan Indonesia hanya gara-gara ikan dan sebaliknya saya yakin pemerintah Indonesia akan bertindak tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Cina dan menyelesaikan masalah itu tanpa konflik bersenjata. Akhirnya dia cooling down setelah membaca balasan pesan Whatsapp saya dan tidak menggangu lagi acara tidur saya.

Selang beberapa hari kemudian, ada teman saya juga mengajak diskusi mengenai perairan laut Natuna. Mohon maaf kebetulan dia seorang keturunan Jawa, akan tetapi saya yakin dia bukan seorang yang rasis, akan tetapi pendapat yang dia kemukakan mengenai insiden Natuna agak menganggu perasaan saya.

Dia menunjukkan beberapa pesan Whatsapp di sebuah grup yang dia ikuti, pesan-pesan tersebut berisi mengenai kritik terhadap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menurut mereka kurang tegas terhadap masalah insiden Natuna.

Menurut pendapat teman saya ini, Prabowo selaku Menhan seharusnya bertindak tegas dan lantang seperti yang dia lakukan selama kampanye Pilpres 2019 yaitu akan menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI tanpa embel-embel.

Akan tetapi tiba-tiba dia mengemukakan sebuah opini pribadi bahwa Prabowo sekarang melempem menghadapi sikap pemerintah China, karena menganggap Prabowo adalah seorang keturunan Tionghoa (entah benar atau tidak) sehingga melunak terhadap masalah insiden Natuna.

Dengan adanya pendapat kedua teman saya ini membuat kenangan lama kembali teringat. Sebuah kenangan akan akan nasionalisme seorang Tionghoa (dalam hal ini saya pribadi).

Yang mana kebetulan celakanya saya memiliki darah keturunan Tionghoa, walaupun nenek saya (dari garis keturunan ayah) adalah seorang keturunan Jawa tulen.

Malahan sampai saat ini di dalam keluarga saya masih menggunakan adat istiadat peninggalan nenek saya ini, dan telah terjadi percampuran budaya asli kakek saya yang berasal dari Cina daratan dengan budaya asli Jawa (Kejawen) dari asal nenek saya.

Mengapa saya menuliskan 'celakanya', karena sejak kecil saya sudah mendapatkan perilaku tidak menyenangkan karena fisik saya yang memang memiliki ciri-ciri fisik seorang Tionghoa pada umumnya. Padahal ayah saya memiliki ciri-ciri fisik seorang Jawa yang nota bene berkulit coklat sawo matang, tapi mungkin karena gen ibu saya yang keturunan tulen dari Tionghoa ternyata mendominasi fisik saya.

Pengalaman Pahit Masa Kecil

Sejak kecil saya seringkali diolok-olok dengan kata-kata singkek (orang keturunan cina tulen) oleh orang-orang yang tidak saya kenal atau yang tinggal di luar wilayah kampung saya tinggal. Kalau tetangga dan orang-orang di kampung , sudah tahu siapa orang tua saya, tidak akan memanggil saya singkek.

Apalagi nenek saya seorang Jawa tulen yang dihormati karena kejawaannya, karena beliau sangat taat pada adat istiadat tradisi orang Jawa kuno. Bahkan setiap malam Jumat Legi (penanggalan Jawa), nenek saya seringkali mengadakan selamatan kecil-kecilan (upacara syukuran terhadap leluluhur dan alam) dengan mengundang alim ulama setempat untuk berkumpul dan berdoa bersama.

Tradisi selamatan ini masih dilakukan oleh salah satu kerabat kami, cuma bentuknya sedikit berbeda dengan hanya mengundang orang-orang terdekat saja. Akan tetapi makna dan maksudnya masih sama.

Pernah ada suatu kejadian yang kurang mengenakkan yang saya alami waktu usia kanak-kanak. Ada seseorang anak dari kampung sebelah tiba-tiba tanpa alasan memukul saya dan mengolok saya dengan kata singkek.

Kejadian tersebut berlangsung cepat waktu itu dan herannya tidak ada orang dewasa yang menolong saya, padahal itu terjadi di tempat keramaian.

Pukulan bertubi-tubi menghujam wajah saya waktu itu dan tak sempat melakukan perlawanan karena saat itu saya sedang memegang sepeda agar tidak jatuh, beruntung akhirnya saya bisa pulang walalupun sambil menangis karena menahan sakit.

Kakak saya pun pernah mempunyai pengalaman kurang mengenakkan pada waktu menempuh pendidikan sekolah di SMPN (Sekolah Menengah Pertama Negeri). Pada waktu itu ada pertandingan bulu tangkis internasional yang pada saat itu pernah ditayangkan di TVRI. Ternyata tim bulutangkis Indonesia kalah dengan tim bulu tangkis Cina, dan oknum guru di SMPN tersebut mengemukakan pendapatnya di depan kelas bahwa tim bulu tangkis Indonesia sengaja mengalah dengan tim bulu tangkis Cina karena beberapa pemain bulutangkis Indonesia berdarah Tionghoa.

Pengalaman-pengalaman pahit tersebut sampai sekarang masih terpatri dalam benak pikiran saya, walaupun begitu perasaan dendam dan marah sudah mereda. Saya menganggap kenangan tersebut sebagai pelajaran berharga agar berhati-hati dalam membawa diri di masa depan.


Zhuge Liang (sumber foto : id. wikipedia.org- )

Zhuge Liang dan Zhuge Jin

Definisi nasionalisme, saya rasa tidak usah dijelaskan panjang lebar karena sudah banyak yang membahasnya dan bila perlu lihat saja Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mengetahui artinya. Nasionalisme seorang Tionghoa yang saya maksudkan akan lebih baik bila dijelaskan dalam sebuah cerita yang terkait dalam Kisah Tiga Negara (Sam Kok atau San Guo Yan Yi).

Dalam sebuah bab dalam buku Kisah Tiga Negara ada sebuah cerita tentang dua orang bersaudara bernama Zhuge Liang dan Zhuge Jin. Zhuge Liang seorang penasihat utama negeri Shu sedangkan Zhuge Jin adalah penasihat urusan dalam negeri untuk negeri Wu. Dua orang bersaudara ini pernah bertemu, dalam pertemuan tersebut dua bersaudara ini hanya membahas mengenai persaudaran mereka secara singkat, sebagai basa-basi pembukaan percakapan. Akan tetapi dalam pembicaraan masalahan hubungan kedua negara, mereka tetap fokus pada kepentingan negara junjungan mereka masing-masing. Bahkan Zhuge Liang pernah memberikan saran kepada Liu Bei (Raja Shu) untuk tetap mempertahankan wilayah prefektur Jing dan tidak menyerahkannya kepada negeri Wu.

Silakan Pergi dari Rumahku


Berkaca pada cerita Zhuge Liang dan Zhuge Jin, saya akhirnya bisa menganalogikan dengan sebuah cerita singkat. Apabila seseorang datang ke rumah saya walaupun itu masih kerabat saya akan tetapi dia datang untuk merusak dan mengacak-acak rumah saya, maka secara otomatis saya akan mengusirnya. Sama dengan kejadian di perairan laut Natuna, itu adalah wilayah negeri saya, rumah saya, walaupun itu masih ZEE, tapi itu masih merupakan bagian dari rumah saya maka dengan sangat setuju sama mendukung pemerintah Indonesia untuk mengusir nelayan-nelayan Cina dari perairan itu.

Teringat kutipan akun Twitter dari Ibu Susi Pudjiastuti yang dilansir oleh Kompas.

Persahabatan dan Investasi bukan Pencurian Ikan

Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa pandangan saya, sama dengan Ibu Susi. Bisa membedakan antara persahabatan dan pencurian ikan, sebaliknya dalam masalah garis keturunan (ras) saya bisa berkata, "Ini rumah saya, kamu sudah mencuri di rumah saya walaupun mungkin kita memiliki leluhur yang sama tapi silahkan pergi!".

Semoga pandangan saya ini bisa mewakili apa yang dirasakan masyarakat Tionghoa secara umum, dan mempertegas bahwa bagaimanapun juga kami adalah Warga Negara Indonesia. Disinilah kami tinggal, inilah rumah kami, siapapun yang mau mengacak-acaknya, baik itu dari luar atau dalam negeri tak akan kami biarkan. (hpx)



0
0
0.000
5 comments
avatar

Hi @happyphoenix!

Your post was upvoted by @steem-ua, new Steem dApp, using UserAuthority for algorithmic post curation!
Your UA account score is currently 4.741 which ranks you at #1587 across all Steem accounts.
Your rank has not changed in the last three days.

In our last Algorithmic Curation Round, consisting of 93 contributions, your post is ranked at #23.

Evaluation of your UA score:
  • Some people are already following you, keep going!
  • The readers like your work!
  • Try to work on user engagement: the more people that interact with you via the comments, the higher your UA score!

Feel free to join our @steem-ua Discord server

0
0
0.000