Gunung Es Korban Kekerasan Seksual |

avatar

LBH Apik_01.jpg


Korban kekerasan seksual di Aceh belum mendapatkan keadilan karena berbagai masalah yang melingkupinya seperti keberpihakan aparat penegak hukum, stigmanisasi, serta keengganan korban untuk membawa masalah tersebut ke ranah hukum karena berbagai sebab.

Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana saat ini belum ditempatkan secara adil. Hal tersebut cenderung berimplikasi terhadap dua hal yang fundamental berupa tiadanya perlindungan hukum bagi korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku, maupun masyarakat luas.

Demikian antara lain pandangan pengamat hukum pidana dari Universitas Malikussaleh, Yusrizal Hasbi, yang disampaikan dalam diskusi publik tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak yang diselenggarakan LBH Apik di Lhokseumawe, Selasa (11/2/2020). Selain Yusrizal Hasbi, juga hadir dosen Fakultas Hukum lainnya Dr Yulia, dosen FISIP Cut Sukmawati dan Murniati Sofi, serta sejumlah akademisi dari perguruan tinggi lain di Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Menurut Yusrizal, persoalan korban kejahatan sering dilupakan karena beberapa faktor di antaranya masalah kejahatan tidak dilihat dan tidak dipahami menurut proporsi sebenarnya secara multidimensional. Kemudian, kebijakan penangulangan kejahatan (criminal policy) tidak didasarkan pada konsep yang terintegrasi dengan etiologi kriminal.

“Selain itu, masih kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban,” papar Yusrizal.

Ia menambahkan, berbicara tentang korban kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, maka cara pandang tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan.

“Pada prinsipnya, mencari pelaku kejahatan itu sangat mudah, karena pada dasarnya setiap pelaku kejahatan itu adalah orang yang terdekat dengan korban. Hanya saja, sering ada kendala psikologis untuk membuat korban bicara, apalagi di depan aparat penegak hukum,” tandas Yusrizal.

Sedangkan Dr Yulia menyinggung tentang upaya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan beberapa tahapan, antara lain tahapan audiensi dengan berbagai elemen pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, ulama, lembaga adat, perangkat desa, serta masyarakat luas. “Terjadi kekeliruan pemahaman sehingga adanya penolakan terhadap RUU itu karena dianggap terlalu liberal,” kata Dr Yulia.

Sementara Cut Sukmawati antara lain menyoroti sistem peradilan yang belum memiliki empati terhadap korban. Dia menyontohkan, dalam persidangan korban dan pelaku sering berhadapan padahal korban trauma melihat pelaku.

Pada bagian lain, Cut Sukmawati juga mengkritisi pola pemberitaan media yang belum melindungi kepentingan korban, misalnya dalam pemberitaan identitas dan foto korban cenderung dipublikasi secara terbuka. “Sikap pejabat pemerintah pun tidak berpihak ke korban. Dalam beberapa kasus kekerasan seksual di Lhokseumawe dan Aceh Utara, kita tidak mendengar ada suara pejabat di kedua daerah yang membela korban,” ujar Cut Sukmawati.

Pandangan serupa juga disampaikan Murniati Sofi. Ia melihat perlu dibangun komunikasi yang baik dengan seluruh elemen, terutama aparat penegak hukum, akan kasus-kasus kekerasan seksual bisa tuntas secara hukum dan pelaku mendapat hukum setimpal serta korban mendapat perlindungan secara hukum dan psikologis untuk menghilangkan trauma.

Direktur Eksekutif LBH Apik Aceh, Roslina Rasyid, mengungkapkan kasus kekerasan seksual di Lhokseumawe dan Aceh Utara ibarat gunung es. Jumlah kasus yang terungkap ke permukaan hanya sedikit, dan yang sampai ke pengadilan lebih sedikit lagi. “Belum lagi kalau kita bicara soal putusan yang memihak korban,” katanya.

LBH Apik mencatat, dari 2016 – 2019 terdapat 183 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari jumlah tersebut, 68 persen usia anak berkisar 3 – 18 tahun dan 32 persen berusia 19 – 74 tahun. “Ironisnya, pelakunya adalah orang terdekat korban yang seharusnya melindungi seperti suami, ayah kandung dan ayah tiri, paman, kakek, tetangga, bahkan guru ngaji,” tandas Roslina. []


LBH Apik_02.jpg


IMG_3294.jpg


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif



0
0
0.000
5 comments
avatar

Korban mungkin trauma dengan kekerasan yang di alami, sehingga menemui kendala saat ingin mengungkap kejahatan dari pelaku. Apalagi kobannya anak di bawah umur.

0
0
0.000
avatar

Ketika kasus itu dipublikasikan oleh media, korban kembali trauma dan menjadi korban lagi. Ketika dalam penyelidikan dan penyidikan, korban trauma lagi. Begitu juga ketika sampai ke pengadilan. Korban kekerasan seksual menjadi korban berkali-kali.

Posted using Partiko iOS

0
0
0.000
avatar

Untuk mendapatkan keadilan, seharusnya tidak lagi menambah korban. Keadilan sungguh mahal, "Oh hidup, sungguh tak adil."

0
0
0.000
avatar

Makanya, kalau @midiagam menjadi orang besar nanti, haruslah adil pada rakyat kecil, beuh. Bek lage yang kana.

0
0
0.000