Tantangan Penguatan Pengawasan Partisipatif |

avatar



Pemilu 2019 di Indonesia yang menggabungkan pemilihan legislatif berbagai tingkatan dengan pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden diklaim sebagai pemilu satu hari yang terbesar di seluruh dunia. Kompleksitas pelaksanaan pemilu, terumtama tahapan pemungutan dan penghitungan, berimplikasi terhadap pengawasan yang ketat di setiap lini selama 24 jam. Dibutuhkan strategi pengawasan yang lebih terukur untuk mengurangi potensi kecurangan.

Berdasarkan data KPU, Pemilu 2019 melibatkan 199.987.870 di dalam dan luar negeri yang tersebar di 810.329 TPS dalam negeri dan 780 TPS luar negeri, ditambah 3.236 kota suara keliling dan 426 kantor pos. Dengan luasnya sebaran TPS ditambah banyak jumlah pemilih, durasi pemilu yang panjang, jumlah calon di setiap daerah pemilihan yang banyak, tentu tidak mudah bagi Bawaslu melakukan pengawasan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pengawasan adalah dengan membangun kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat melalui pengawasan partisipatif untuk mendukung terlaksananya pemilu yang jujur, adil, bersih, aman, dan dapat dipercaya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 448 ayat (3) menjelaskan tentang terminologi pengawasan partisipatif:

"Bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah a) tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, b) tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, c) bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan d) mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar".

Pasal di atas memberi peluang sekaligus batasan mengenai pengawasan partisipastif bahwa siapa pun bisa melakukan pengawasan sebagai hak warga negara selaku pemberi mandat kekuasaan. Setiap warga negara berhak mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu agar berjalan sesuai dengan perintah peraturan perundang-undangan.

Pihak yang terlibat dalam pengawasan tersebut haruslah memegang prinsip netralitas sebagaimana yang dipegang teguh penyelenggara. Bentuk pengawasan partisipatif tidak boleh berpihak sehingga merugikan dan menguntungkan peserta pemilu. Harapan ini menjadi sulit terpenuhi karena sebagian orang melakukan pengawasan karena adanya kepentingan. Sesama peserta pemilu sangat mengintip kesalahan dan kecurangan sebagai bagian dari persaingan politik.

Dalam skala tertentu, pengawasan sesama peserta atau pendukung calon ikut memberikan kontribusi pengawasan partisipatif. Namun, keberpihakan yang mengabaikan fakta-fakta dan barang bukti bisa menjerumuskan kepada penyebaran kabar bohong atau hoaks. Laporan tidak disertai dengan bukti yang cukup sehingga tidak bisa ditindaklanjuti oleh pengawas. Dalam beberapa kasus, selain memberikan laporan tertulis kepada pengawas, pengadu juga memberikan data sama kepada media massa sehingga informasi tersebut tersebar luas. Ketika lembaga pengawas tidak bisa menindaklanjuti atau ketika menindaklanjuti tetapi tidak ditemukan fakta-fakta adanya pelanggaran, sering muncul tudingan bahwa lembaga pengawas sudah memihak.

Untuk mengurangi potensi masalah seperti itu sekaligus memperkuat pengawasan partisipatif, Panwaslih Kota Lhokseumawe memperkuat koordinasi dengan berbagai elemen sipil untuk menyamakan persepsi (Portalsatu.com, 27 November 2018). Pertemuan dengan lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan, perguruan tinggi, media cetak dan elektronik, ulama, organisasi masyarakat, dan organisasi kemahasiswaan tersebut menjadi satu paket dengan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran dan membangun kekuatan pengawasan partsipatif.



Panwaslih Kota Lhokseumawe juga membangun sinergitas dengan media massa sebagai mitra strategis. Sebagai perpanjangan tangan masyarakat, media massa memegang peranan penting dalam melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan, sosialisasi tahapan, sekaligus sosialisasi pengawasan. Pengaruh media massa sangat besar dalam memengaruhi opini publik dan memberikan informasi yang akurat, cepat, dan mencerdaskan masyarakat. Sesuai fungsinya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan pers nasional juga menjalan fungsi edukasi selain media informasi, hiburan, dan kontrol sosial.

Tugas dan fungsinya pers sesuai undang-undang sangat mendukung lembaga pengawas untuk meningkatkan sosialiasi, pencegahan pelanggaran, serta penguatan pengawasan partisipatif. Peran strategis ini sangat disadari Panwaslih Kota Lhokseumawe sehingga selain melakukan pertemuan dengan media massa, Panwaslih Lhokseumawe juga menggelar beberapa kali pelatihan dan sosialisasi kepada jurnalis dalam peliputan isu-isu pemilu.

Jurnalis di daerah biasanya dituntut untuk meliput berbagai bidang berita seperti sosial, budaya, keamanan, hukum, olahraga, kuliner, dan politik seperti momen pemilu. Liputan “gado-gado” itu membuat jurnalis tidak menguasai dengan detail semua bidang. Dalam kondisi demikian, peraturan perundang-undangan tentang kepemiluan di Indonesia sering berubah sehingga jangankan jurnalis dan masyarakat umum, para penyelenggara pun harus melakukan penyesuaian dan penyegaran kembali agar tidak salah memahami aturan dan tidak salah dalam mensosialisasikan kepada masyarakat. Memberikan workshop tentang pengawasan partifipatif dan isu-isu kepemiluan lainnya kepada jurnalis, menjadi salah satu kunci sukses dalam memperkuat pengawasan partisipatif yang menjadi misi Bawaslu RI.

Jurnalis yang paham terhadap peraturan perundangan pemilu, memiliki multiperan strategis yang sangat mendukung kinerja penyelenggara pemilu, termasuk Panwaslih. Setiap media massa sudah memiliki kelompok sasaran yang tidak membutuhkan waktu lama dan biaya banyak untuk mengumpulkan mereka dalam satu ruang untuk mendapatkan materi sosialisasi. Ini yang membedakan dengan konsep sosialisasi dalam ruang dan waktu yang menjadi pola penyelenggara sejak dulu. Kendati konsep konvensional ini tetap dibutuhkan jika dilihat dari sisi kepraktisan interaksi dan intensitas, pola suplai informasi dan edukasi melalui media juga harus masuk dalam program utama. Di sini ada kelompok sasaran yang secara proaktif mencari informasi yang mereka butuhkan, kendati ketika informasi tersebut belum lengkap, konsumen media tidak serta-merta dalam mengajukan pertanyaan lisan sebagaimana dalam sosialisasi tatap muka.

Mengoptimalkan peran wartawan dalam mendorong penguatan pengawasan partisipatif dalam Pemilu 2019 di Lhokseumawe juga memberikan gambaran berbeda karena setiap media memiliki perbedaan sudut pandang (angle) dalam pemberitaan. Sebuah media terkadang lebih fokus dengan statistik dalam pola pemberitaan sehingga jumlah pelanggaran menjadi angle berita mereka. Sedangkan media lainnya fokus kepada cara penyelesaian yang dilakukan Panwaslih Lhokseumawe, kendati bagian mengenai jumlah pelanggaran juga disebutkan dalam tubuh berita.




Perbedaan sudut pandang dalam pemberitaan media ini malah memberikan materi sosialisasi dan edukasi yang lebih komprehensif kepada masyarakat yang tidak pernah terbayangkan oleh Panwaslih Kota Lhokseumawe. Keberadaan jurnalis sebagai mitra strategis sangat membantu dalam memperkuat pengawasan partisipatif di Kota Lhokseumawe dalam setiap tahapan pemilu.

Karena jurnalis lokal tipe “gado-gado” yang tidak pakar dalam setiap bidang peliputan serta perubahan peraturan dalam setiap pemilu, terkadang terdapat deviasi informasi dan makna pemberitaan dalam skala tertentu. Masalah ini tidak langsung teratasi hanya dengan satu atau dua kali tatap muka dalam pertemuan yang berlabel pelatihan atau sosialisasi. Strategi lain yang dilakukan Panwaslih Kota Lhokseumawe adalah dengan menggelar konferensi pers sesuai kebutuhan dan tahapan. Intinya, Panwaslih Kota Lhokseumawe mengoptimalkan setiap momen untuk mendorong penguatan pengawasan partisipatif demi terlaksananya pemilu yang lebih bersih, lebih jujur, lebih adil sehingga lebih dipercaya masyarakat.

Upaya memperkuat pengawasan partisipatif sesungguhnya relatif mudah dikonsepkan karena sudah ada panduan yang dikeluarkan Bawaslu RI. Namun, konsep ini menjadi sulit diimplementasikan karena penguatan dimulai dengan membangun kesadaran politik masyarakat (Abhan, 2017:3). Kesadaran politik yang masih rendah menghambat proses pengawasan partisipatif. Di sinilah dibutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan.

Terdapat beberapa program penguatan pengawasan partisipastif yang bisa menjadi pedoman bagi lembaga pengawas di daerah, termasuk Panwaslih Kota Lhokseumawe. Ada program yang bersinergi dengan jaringan Bawaslu RI seperti Pengawasan Berbasis Teknologi Informasi atau Gowaslu. Ini adalah portal bersama yang dapat menghubungkan jajaran pengawas dengan metode yang cepat dan mudah diakses masyarakat. Jaringan ini pada prakteknya memang membutuhkan sikap proaktif masyarakat dalam merespon pelanggaran dan ini menjadi tantangan utama.

Aplikasi berbasis android ini bagian dari sosialisasi yang dilakukan Panwaslih Kota Lhokseumawe, baik secara langsung maupun dengan mengoptimalkan peran relawan pengawas pemilu. Para relawan ini terdiri dari generasi milenial yang akrab dengan teknologi informatika serta aktif di media sosial. Banyak di antara relawan yang direkrut Panwaslih Lhokseumawe adalah influencer di media sosial yang memiliki basis massa sehingga menjadi rujukan generasi muda. Selain mendorong kepedulian generasi muda yang merupakan kelompok pemilih utama dalam mengawasi pemilu, relawan pengawas juga memanfaatkan semua platform media sosial untuk melakukan pengawasan.

Panwaslih Lhokseumawe menyerap informasi yang beredar di media sosial dan menelusuri kebenarannya. Meski banyak informasi sumir karena memuat informasi lengkap, tetap ditindaklanjuti sebab dalam beberapa kasus, ketidaklengkapan informasi lebih kepada pemahaman metodologi pelaporan dari masyarakat yang masih lemah.

Dengan semakin beragamnya bentuk pelanggaran, tantangan memperkuat pengawasan partisipatif di masa mendatang juga kian kompleks. Upaya ini dipengaruhi banyak variabel di luar kapasitas lembaga pengawas, misalnya sikap apatis masyarakat terhadap hasil pemilu karena banyaknya calon yang terpilih kemudian terjerat kasus korupsi. Kepercayaan terhadap penyelenggara juga menjadi variabel penting dalam penguatan pengawasan partisipatif.

Ke depan, sistem pelaporan yang lebih mudah, murah, sederhana, serta menjamin keselamatan pelapor juga harus terus diperbaiki. Masyarakat enggan melaporkan karena keharusan melengkapi barang bukti serta risiko yang harus ditanggung ketika diminta menjadi saksi. Belum lagi sikap responsif rendah dari pengawas akan membuat warga apatis dan memengaruhi intergritas badan pengawas. Ketika ada masyarakat yang melapor dugaan pelanggaran, seharusnya tidak dibebani lagi dengan keharusan mengumpulkan barang bukti.

Semua permasalahan ini tentunya menjadi tantangan di masa mendatang untuk terus diperbaiki agar terbangun kesadaran secara menyeluruh di tengah masyarakat bahwa terselenggaranya pemilu yang bersih, jujur, dan adil merupakan tanggung jawab bersama. Dari pemilu bersih, diharapkan terpilihnya pemimpin bersih yang berdampak secara jangka panjang untuk peningkatan kualitas kehidupan rakyat Indonesia.[]

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pers.
  3. www.kpu.go.id
  4. Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, 2017. “Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif”, Jakarta.
  5. Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, 2019. “Panduan Pengawasan Media Sosial”, Jakarta.
  6. Portalsatu.com, 2018. “Panwaslih Lhokseumawe Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pemilu 2019”. http://portalsatu.com/read/news/panwaslih-lhokseumawe-sosialiasi-pengawasan-partisipatif-pemilu-2019-46621





Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers


0
0
0.000
1 comments
avatar

To listen to the audio version of this article click on the play image.

Brought to you by @tts. If you find it useful please consider upvoting this reply.

0
0
0.000