Peta Kepemiluan Legislati di Lhokseumawe |

avatar


Sebagai daerah otonomi baru yang masih remaja—berusia 18 tahun pada 2019—sejarah kepemiluan di Lhoksseumawe berlangsung dinamis dengan segala keunikannya yang patut dijadikan subjek penelitian. Lhokseumawe yang pernah menjadi menjadi ibukota Kabupaten Aceh Utara, menggelar pemilihan umum pertama kali pada 2004 yang waktu itu berlangsung dalam situasi konflik bersenjata sehingga banyak warga tidak berani datang ke TPS. Namun, pemilu tetap terlaksana di tengah baku tembak yang terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama setelah Era Reformasi 1998 di Lhokseumawe. Memang pada 1999 juga berlangsung pemilu, tetapi tidak terlaksana secara optimal di beberapa daerah di Aceh, termasuk Lhokseumawe yang ketika itu masih menjadi ibu kota Kabupaten Aceh Utara. “Ketika itu, hanya ada lokasi yang melakukan pemungutan dan penghitungan suara di Lhokseumawe, yakni TPS di Lapangan Hiraq dan Lapangan Jenderal Sudirman,” ungkap Tun Azhari, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR Aceh tetapi malah dilantik sebagai sebagai wakil ketua DPRD Kota Lhokseumawe periode 1999 – 2004. Penyebutan DPRK yang merujuk kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh memang belum dikenal seperti sekarang.

Pemilu 2004 yang paling dekat dengan Era Reformasi memberikan dampak positif bagi peroleh kursi PAN. Ketua PAN, Amien Rais, ketika itu dipandang sebagai Lokomotif Reformasi sehingga memengaruhi peroleh suara PAN di beberapa daerah, termasuk Kota Lhokseumawe. Pada Pemilu 2004, PAN menjadi pemenang pemilu di Lhokseumawe dengan lima kursi, menggunguli Partai Persatuan Pembangunan yang bahkan masa Orde Baru menjadi jawara pemilu di Aceh.
Selanjutnya ada enam partai yang mendapatkan dua kursi masing-masing Partai Demokrat, Partai Bintang Reformasi, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Ada 24 peserta Pemilu 2004 sehingga persaingan saat itu sangat ketat.

Menang dengan kursi terbanyak, tidak membuat kader PAN bisa duduk sebagai ketua DPRD Lhokseumawe karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur pemenang pemilu otomatis duduk sebagai pimpinan. Akhirnya, PAN yang mendapatkan lima kursi justru kalah dalam perebutan ketua DPRD Lhokseumawe yang ketika itu memilih Ir TA Khalid dari Partai Bintang Reformasi sebagai ketua.




Pemilu 2004 bisa dikatakan pemilu bersejarah bagi Kota Lhokseumawe karena menjadi pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang. Penyelenggara pemilu juga dari kalangan independen dengan proses rekruitmen melalui KPUD Provinsi Aceh. Belum ada partai lokal masa itu karena Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh baru lahir pada 2006, setahun setelah Perjanjian Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh merdeka ditandatangani.

Parlok mulai menjadi peserta pemilu sejak 2009 silam dan mengundang perhatian dari dalam dan luar negeri. Peralihan perjuangan gerilyawan GAM dari peluru ke surat suara (from bullet to ballot) menjadi model penyelesaian konflik bersenjata di berbagai negara. Sejumlah negara yang sedang berkonflik dan lembaga internasional yang peduli terhadap perdamaian, berkunjung ke Aceh untuk belajar tentang resolusi konflik secara politik, ekonomi, religi, sosial, dan budaya.

Di tengah suasana eforia setelah Perjanjian Damai, Partai Aceh yang dibentuk mantan petinggi GAM langsung menjadi partai dominan yang menguasai kursi DPR Aceh serta sebagian besar kursi di DPRK kabupaten dan kota di Aceh, termasuk di Lhokseumawe. Di Lhokseumawe, Partai Aceh menguasai parlemen dengan merenut 13 kursi dari 25 kursi yang ada, diikuti Partai Demokrat dengan 3 kursi. Di bawahnya ada PAN dan PKS yang masing-masing mendapatkan dua kursi. Sisa kursi diperoleh PPP, Partai Golkar, PDA, dan Partai SIRA.

Di sini terlihat, di luar Partai Aceh tidak ada partai lokal lain yang bisa mendominasi perolehan kursi. Partai Aceh yang menguasai struktur kepengurusan sampai ke tingkat paling bawah dan memiliki kader militan di setiap gampong, terbang sendiri dalam menguasai parlemen di Kota Lhokseumawe dan daerah lainnya yang selama ini menjadi basis GAM.

Dominasi Partai Aceh masih terlihat dalam Pemilu 2014, tetapi mulai menunjukkan penurunan. Dua tema sentral kampanye Partai Aceh pada Pemilu 2009, Mou Helsinki dan UUPA atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, masih menjadi “jualan” Partai Aceh dalam Pemilu 2014. Tidak ada isu-isu baru yang diusung kecuali qanun turunan Undang-Undang Nomor 11/2006. Dengan penambahan logistik karena menguasai parlemen dan pemerintahan, seharusnya tidak terjadi penurunan jumlah kursi Partai Aceh di Kota Lhokseumawe dan daerah lainnya.
Partai nasional lainnya—sebenarnya istilah partai nasional tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan—relatif stabil dalam perolehan kursi di Lhokseumawe. Meski ada naik turun, tidak secara signifikan seperti yang dialami Partai Aceh. Partai lokal lainnya malah tidak menunjukkan perkembangan positif karena gagal mendapatkan kursi.

Dalam Pemilu 2014, tidak satu pun partai lokal di Lhokseumawe yang mendapatkan kursi. Perlu riset mendalam untuk mendapatkan data komprehensif mengenai fenomena ini. Namun secara umum bisa dilihat bahwa visi dan misi partai politik lokal, perilaku politisinya, tidak jauh berbeda dengan politisi partai politik dari partai nasional. Pembinaan kader yang menjadi perhatian partai nasional, justru diabaikan oleh parlok. Bahkan beberapa parlok mengalami perpecahan tajam di antara pengurus teras bahkan ketika parlok tersebut sedang merangkak.

Lampu kuning bagi Partai Aceh pada Pemilu 2014 seharusnya menjadi peringatan untuk membenahi diri menghadapi Pemilu 2019. Dengan kekuatan logistik yang semakin kuat, seharusnya jumlah kursi yang diperoleh bisa bertambah—setidaknya sama seperti Pemilu 2014, yakni 10 kursi. Analisa banyak kalangan tentang dominasi Partai Aceh kian meredup terbukti dengan peroleh kursi pada Pemilu 2019 yang menjadi tujuh kursi. Bagi Partai Aceh, angka 3 menjadi unik dalam setiap pemilu calon anggota DPRK di Lhokseumawe karena selalu kehilangan 3 kursi. Tentunya tak bisa diklaim terlalu dini jika pada Pemilu 2024 jumlah kursi yang diperoleh Partai Aceh di Kota Lhokseumawe menjadi empat kursi.

Menilik sejarahnya, basis massa di keempat parlok di Pemilu juga tak jauh berbeda. Partai Nanggroe Aceh yang dulunya bernama Partai Nasional Aceh, juga didukung banyak mantan kombatan GAM yang berseberangan secara politik dengan elit Partai Aceh. Awalnya, PNA diharap mampu memberi warna baru dalam atmosfir politik lokal untuk mengimbangi dominasi Partai Aceh. Namun, sejak kasus hukum menjerat Irwandi Yusuf, kekuatan PNA diyakini berkurang, meski hipotesis ini dibantah petinggi partai. Apalagi belakangan terjadi konflik internal yang membebani pertumbuhan partai.

Partai SIRA yang didukung intelektual muda, dulu juga berada dalam satu barisan bersama GAM kendati konsep perjuangan mereka adalah menuntut referendum di Aceh. Partai yang dimotori mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, berusaha menyusun asa baru yang pada 2004 silam gagal meraih kepercayaan pemilih. Di tengah logistik terbatas, Partai SIRA harus berjuang lebih keras agar tidak sekadar meramaikan hajatan demokrasi setiap lima tahu sekali.




Sementara Partai Daerah Aceh yang seperti dua parlok lain terus berganti nama dalam tiga kali pemilu, didukung kalangan dayah (pesantren tradisional). PDA masih berusaha meraih suara dari santri dayah seperti dua pemilu sebelumnya. Namun, suara dayah juga menjadi sasaran kampanye peserta pemilu lain, tak sebatas parlok. Sejauh ini, PDA masih mengusung penegakan syariat Islam dalam strategi marketing politik.

Sebaliknya, partai nasional tampil lebih beragam dengan pengalaman dan dukungan logistik yang lebih meyakinkan. Beberapa partai besar tampil dengan wajah modern dan awas terhadap perubahan di Aceh. Mereka membuat riset dengan mengundang lembaga independen untuk mengukur elektabilitas partai. Parnas juga lebih jelas memetakan diri berdasarkan hasil riset sehingga lebih realistis dalam memasang target. Keberadaan sejumlah tokoh GAM sebagai caleg DPR-RI membuat parnas semakin percaya diri untuk memengaruhi pemilih di kantong suara parlok, pemandangan yang tidak terlihat secara terang-terangan dalam dua pemilu sebelumnya.

Apakah ini menjadi sinyal sandyakalaning parlok di Aceh?

Bagi Partai Aceh yang menguasai hampir separuh kepala daerah dan kursi parlemen dari 23 kabupaten dan kota di Aceh—termasuk di Kota Lhokseumawe—masih bisa optimis menatap Pemilu 2024 kendati harus mempertimbangkan kemungkinan kehilangan banyak kursi dengan berbagai perubahan yang ada. Sedangkan parlok lain akan sulit membalikkan situasi untuk terus mewarnai wajah demokrasi di Indonesia bila menolak mentranformasi diri menjadi partai politik modern.[]

Komposisi Kursi Hasil Pemilu 2019

  1. Partai Aceh = 7 kursi
  2. Partai Gerindra = 5 kursi
  3. Partai Demokrat = 3 kursi
  4. Partai Amanat Nasional = 2 kursi
  5. Partai Nasdem = 2 kursi
  6. Partai Golkar = 2 kursi
  7. Partai Keadilan Sejahtera = 2 kursi
  8. Partai Kebangkitan Bangsa = 1 kursi
  9. Partai Nanggroe Aceh = 1 kursi

Komposisi Kursi Hasil Pemilu 2014

  1. Partai Aceh = 10 kursi
  2. Partai Demokrat = 3 kursi
  3. Partai Amanat Nasional = 3 kursi
  4. Partai Keadilan Sejahtera = 2 kursi
  5. Partai Nasdem = 2 kursi
  6. Partai Gerindra = 2 kursi
  7. Partai Golkar = 1 kursi
  8. Partai Kebangkitan Bangsa = 1 kursi
  9. Partai Hanura = 1 kursi

Komposisi Kursi Hasil Pemilu 2009

  1. Partai Aceh = 13 kursi
  2. Partai Demokrat = 4 kursi
  3. Partai Amanat Nasional = 2 kursi
  4. Partai Keadilan Sejahtera = 2 kursi
  5. Partai Persatuan Pembanguan = 1 kursi
  6. Partai Golkar = 1 kursi
  7. Partai Daulat Rakyat = 1 kursi
  8. Partai SIRA = 1 kursi



Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers


0
0
0.000
6 comments
avatar

To listen to the audio version of this article click on the play image.

Brought to you by @tts. If you find it useful please consider upvoting this reply.

0
0
0.000
avatar
(Edited)

Saya jadi ingat pemilu saat Aceh masih dalam masa konflik. Saat itu saya menjadi saksi dari partai Gerindra, dan menjadi saksi dari tim paratai selain Parta Aceh kala itu adalah hal yang sangat menakutkan. Karena dapat bayaran yang lumayan gede, saya putuskan saja berani
menerima tawaran untuk jadi saksi 😁

0
0
0.000
avatar

Nah, pengalaman @midiagam menjadi saksi partai di saat pemilu menarik untuk ditulis. Menjadi bagian dari pelaksanaan pemilu di Indonesia itu seru, penuh risiko, tidak semua orang berani melakukannya, apalagi dengan imbalan sedikit.

0
0
0.000
avatar

Betul, pemilu saat masa konflik, memang penuh dengan resiko, dan saya juga setuju kalau pengalaman ini tertuang ke dalam sebuah artikel, untuk di ingat lagi di masa yang datang.

0
0
0.000
avatar

Ayo tulis pengalamannya @midiagam. Bisa jadi referensi orang lain yang nanti terlibat dalam kegiatan kepemiluan.

Posted using Partiko iOS

0
0
0.000
avatar

Oke, @ayijufridar, saya akan coba membuat artikel nanti tentang pengalaman saat menjadi saksi pada pemilu tahun lalu 😊

0
0
0.000