Putriku

Rasa lelah tergambar jelas dari wajah mungilnya. Sambil menyeret ransel yang beratnya melebihi tubuhnya.

"Bunda cia main ya..." putriku bersuara. "Iya nak, main saja..., kakak capek ya?"tanyaku.

Ujian semester yang melelahkan akhirnya selesai juga, pelajaran sekolah yang lebih dari sepuluh mata pelajaran usai sudah.

Menanti hasil dari usaha keras, yang telah dilakukan selama ini. Standar nilai lulus di atas delapan puluh, sangat berat untuk diraih.

Dari seorang agen bimbel, aku mendapatkan kabar bahwa, pendidikan di Indonesia telah tertinggal 150 tahun dari China.

Aku kaget mendengarnya, pantas saja, pelajaran anak sekarang terasa sangat sulit. Bahkan ada soal yang mirip dengan pertanyaan ujian masuk pegawai negeri.

Hari yang dinanti tiba juga, aku tak mampu menutupi rasa penasaran dengan hasil belajar putriku. Berbeda dengan putriku, ia tampak tenang, tanpa ekspresi.

Memasuki ruang kelas, menunggu giliran beberapa saat, akhirnya nama putriku dipanggil wali kelas.

Setelah menjelaskan tentang keseharian putriku di sekolah, ia lalu membagikan raport, sambil berkata "Selamat ibu..., anak ibu mendapatkan nilai tertinggi di kelas ini".

Aku memeluk putriku, air mata tak terbendung, wujud rasa syukur atas anugerah dari yang Kuasa.