Tiket Pesawat Mahal Pembunuh Festival Sastra

avatar
(Edited)


Sejumlah teman penulis sastra makin berat kini menghadiri festival-festival sastra. Pasalnya, ongkos perjalanan kini berbeda dengan setahun lalu. Tahun lalu, ketika saya menghadiri Festival Sastra Bengkulu 2018, tiket pesawat terendah masih Rp 400 ribuan. Kini harganya sekitar Rp. 800 ribu untuk harga terendah.

Beberapa hari lalu saya ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tiketnya paling murah sekitar Rp 1 juta, berbeda dengan tahun lalu yang bisa dapat sekitar Rp. 500 ribuan. Seorang penyair, berkomentar di thread saya di twitter yang membahas dampak tiket mahal terhadap festival sastra. “Saya sendiri baru saja menarik keterlibatan saya dalam Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival ….karena keterbatasan dana.” Lihat thread di sini: https://tinyurl.com/tiketmahal.

Saya pun begitu. Tadinya, saya berniat menghadiri “Desember Kopi” di Takengon, Aceh Tengah, pada 7-8 Desember 2019. Namun, saya urung hadir pada kegiatan yang memadukan “puisi dengan kopi” itu setelah memeriksa harga tiket paling rendah Rp 1.6 juta untuk sekali jalan. Dulu, pada 2017, saya menghadiri acara serupa cukup merogoh kantong Rp 800 ribuan untuk sekali jalan. Jadi, harga tiket pesawat rata-rata naik dua kali lipat dari harga tahun lalu.

Harga ini memang sempat turun dibandingkan pada sebelum dan pada Lebaran 2019, yang kenaikannya mencapai tiga kali lipat. Sehingga sebagian orang ke Sumatera pulang dengan cara melingkar: dari Jakarta terbang dulu ke Kuala Lumpur, baru kemudian terbang ke kota-kota di Sumatera, seperti Riau, Padang, Medan dan Aceh. Karena banyak protes, perusahaan penerbangan – atas dorongan pemerintah – kemudian menurunkan harga tiket.

Tapi, harga tiket tidak benar-benar turun ke harga awal sebelum naik. Perusahaan penerbangan, yang untuk dalam negeri dikuasai hanya oleh dua grup, yakni Lion Grup dan Garuda, masih tetap begitu berkuasa dalam menetapkan harga tiket. Bahkan, untuk pesawat Lion, bukan hanya menaikkan harga tiket, bagasi gratis pun dipangkas. Penumpang hanya boleh memiliki barang tak lebih dari tujuh kilogram untuk dibawa ke kabin. Selebihnya, harus masuk bagasi dan bayar.

Celakanya, ternyata harga bagasi pesawat dua kali lipat dibandingkan mengirimkan barang lewat perusahaan kurir. Misalnya, satu kilogram bagasi dari Banjarmasin ke Jakarta Rp 40 sekian ribu. Harga ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan kalau kita mengirimnya pakai kurir, saya cek di salah satu perusahaan kurir hanya RP 23.000 per kilogram. Biaya bagasi tentu akan menambah ongkos perjalanan ke sebuah festival sastra.

Satu hal yang menjadi tradisi dalam festival sastra adalah saling bertukar buku. Nah, buku-buku itu akan menjadi beban biaya lain ketika akan dibawa. Hal itu pernah dialami seorang kawan sepulang dari Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest) 2019 beberapa bulan lalu. Saat akan kembali ke Jakarta, ia terpaksa membongkar kopernya di bandara Yogya karena isinya melebihi berat yang boleh masuk kabin. Akhirnya, sebagian barang kawan itu dititipkan ke saya yang memang masih belum memenuhi kuota maksimal masuk kabin. Sebab, biaya bagasi lumayan tinggi.

Bayangkan, dalam banyak festival sastra, peserta datang dengan biaya sendiri. Lalu, jika harus dibebankan dengan tambahan biaya untuk bagasi, betapa merepotkan. Dengan harga tiket pesawat yang mahal itu, plus biaya bagasi yang juga tinggi, bisa-bisa sastrawan makin kewalahan untuk hadir di festival-festival sastra di berbagai daerah di Indonesia. Boleh jadi, nanti, festival-festival itu hanya makin sepi.

Seperti diketahui, panitia festival sastra hanya membiayai narasumber untuk acara. Bagi peserta, biasanya panitia hanya menyediakan akomodasi dan konsumsi selama kegiatan. Dan saya baru tahu, ternyata hal itu juga berlaku di sejumlah festival atau kegiatan seni lainnya. Seorang pemusik dari Malang, masih di thread saya di Twitter, bercerita hal serupa: betapa sulitnya pemusik untuk menghadiri festival dan kompetisi musik dengan tiket yang mahal sekarang.

Panitia pun mikir-mikir mengundang pemusik, terutama indie, untuk tampil. Sebab, biayanya makin besar. Apalagi ketika kelompok musik itu harus membawa peralatannya, yang tentu saja harus membayar. Jadi, tiket pesawat mahal telah memukul kerja-kerja kesenian dan kebudayaan, bahkan mematikan festival-festival seni di berbagai daerah di Indonesia, termasuk festival sastra. Tiket mahal adalah pembunuh festival-festival itu.

Depok, 3 Desember 2019

MUSTAFA ISMAIL
Penulis sastra dan pegiat kebudayaan
@musismail | @igbangmus

ILUSTRASI:
Pixabay.com/OpenClipart-Vectors



Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/tiket-pesawat-mahal-pembunuh-festival-sastra/



0
0
0.000
1 comments
avatar

Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.
@c-squared runs a community witness. Please consider using one of your witness votes on us here
0
0
0.000