Mangkatnya Sang Phoenix (Bagian I)

avatar
(Edited)

Gambar berdasarkan referensi dari freesvg.org

Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana

Matanya memerah, nafasnya terengah-engah, wajah tuanya terlihat pucat, tapi walaupun begitu ia masih bisa berlari dan bergerak dengan lincahnya bak anak muda . Terlihat ia memegang erat pedang shinobigatana di tangan kanannya sambil berlari kencang, ada tiga orang dibelakangnya mengejar dan mengikuti pak tua itu.

Tampaknya ia berlari untuk menghindari tiga orang pengejarnya itu, entah apa yang sedang terjadi akan tetapi kelihatannya mereka habis bertarung. Salah satu jubah pengejarnya terdapat noda darah, rasanya ia terluka karena sabetan pedang.

“Berhenti kau, pak tua!” teriak salah satu pengejarnya yang berpakain kimono hitam, dengan kamon bergambarkan kipás. Ia memegang pedang katana bergagang merah dengan gaya menyamping dengan wakizashi dipinggang kirinya.

Pria itu dikenal dengan nama Simamoto Katsuri, salah satu keturunan samurái yang pernah bekerja untuk klan Shimazu dan juga jebolan dari Akademi Angkatan Laut Kobe.Dia terkenal dengan sebutan Katana Kilat, sebutan yang ia dapat ketika perang Boshin. Lawan-lawan tandingnya sering dibuat tumbang dengan satu atau dua kali tebasan. Gaya bertarungnya menggunakan dua pedang atau disebut niten'ichi.


Shinobigatana, sumber gambarwikipedia

Tak dinyana Pak tua yang dikejarnya itu pun menghentikan langkahnya, kemudian berbalik dan melihat kepada tiga orang pengejarnyanya, sontak pun para pengejarnya berhenti.

Ia berkata kepada mereka, “Ternyata kalian masih belum sadar.”

“Ketamakan telah merasuki pikiran kalian.”

“Kalian hanya menginginkan pedang ini.”

Salah satu pengejarnya tertawa kecil dan membalasnya dengan senyuman sinis. Umurnya sekitar tiga puluhan, seorang lelaki keturunan Eropa, berperawakan kekar dengan kumis menghiasi bibirnya. Ia dikenal dengan sebutan Mata Hati, Jack Armstrong, veteran perang Boer, mantan seorang perwira dari angkatan perang Inggris. Ahli beladiri anggar dan senjata andalannya adalah pedang rapier, yang saat ini tergengam erat ditangannya dan terhunus mengarah ke pak tua itu. Bersiap untuk menyerang setiap saat.

Rapier, sumber gambar wikipedia

“Usiamu sudah tua.”

“Tak pantas lagi untuk memegang pedang itu.”

“Serahkan pedang itu kepada kami atau nyawamu hilang,” Mata Hati mulai melangkah untuk bersiap menyerang. Pak tua itu sedikit bergeming dan bergerak satu langkah mundur, tapi ia dikejutkan oleh suara seorang pemuda lainnya yang tiba-tiba sudah berada dibelakangnya.

“Menyerahlah Suhu, engkau terlalu tua untuk ini,” suara berat dan logat khas Cina terlontar dari mulut pemuda itu. “Kami akan pergi bila kau serahkan pedang itu,” lanjut omongan pemuda Cina itu.

Ia mengenal suara itu dan menjawabnya, “Muridku, Li Rui.”

Melihat muridnya ini, pikirannya sejenak menerawang ingatan masa lalunya, Fan Li Rui, salah seorang muridnya ketika ia masih menjadi biksu di biara Shaolin.

Teringat ia ketika pertama kali, Biksu Kepala Biara menyerahkan Li Rui agar berada dalam bimbingannya. Seorang remaja tanggung, yang kehilangan orang tuanya akibat bencana kelaparan di bagian utara negeri Cina. Setelah beranjak dewasa, ia memutuskan untuk meninggalkan biara Shaolin , pergi mengembara dan ikut sebuah sekte keagamaan. Dia terkenal dengan julukan sebagai Gagak Hitam, karena berpakaian serba hitam dan menggunakan golok terbuat dari baja hitam. Terlibat dalam pemberontakan Boxer di Cina yang anti dengan orang Eropa.

“Suhu, aku mohon menyerahlah!” sergah Li Rui, karena ia sebetulnya tidak tega melihat gurunya ini berada keadaan terpojok dalam keroyokan tiga pendekar pedang kelas wahid. Dalam tradisi persilatan di Cina, hubungan guru dan murid tetaplah abadi selama mereka belum memutuskan hubungan itu.

Bersambung……



0
0
0.000
0 comments