I gave an assignment to the students of the Basri Daham Journalists Institute (BJI) Lhokseumawe, Aceh, to practice their ability to describe feelings of longing, me, and love without mentioning these three phrases in their writing. This assignment tests students' ability to write in detail.

Khairul Sani Umraiti's article is the third article that I reviewed in a post on Hive. In contrast to the two previous articles which described feelings towards humans, Khairul Sani Umraiti targets places of worship as the object of his longing. There are messages of peace in Khairul Sani's article.

The author also has detailed description skills, including mosque objects he has never seen in person. Reading his writing from start to finish, readers can conclude that there is a feeling of longing there.

Miss Al-Aqsa

By Khairul Sani Umraiti

Land of olives, can you feel my heartbeat from this distance? Here, under a similar sky, I wake up with a million images of you. Mediterranean Sea, can you convey my greetings to your waves that lick the shores of Gaza? Here, the waves weren't as fierce as the roar of tanks and fighter planes, but the roar still couldn't drown out the rumbling in my chest.

In this land of the Veranda of Mecca, I saw the genocide incident on the screen which was so heart-wrenching, there are no words that are appropriate for me to say other than "Hasbunallah wanikmal deputy nikmal maula wanikman nasir". At night, the star moon of the land of Aceh watches a stretch of prayers for you, O Al-Aqsa.

Here, the sound of chanting holy verses combines with the strains of blessings and prayers. There, there might only be the whistling of bullets and screams of sorrow. Here, I am free to prostrate on the mosque floor without fear. There, my brothers may have to pray in secret, in fear.

Oh, Al-Aqsa, the heart of the world, why are you so far away? I will never be able to touch your walls which were cleansed by the tears of the prophets, kiss the black stone of the Black Stone which contains the footsteps of Ibrahim and Ismail. I will not be able to lean on the wooden pulpit where Rasulullah led prayers, the same pulpit he climbed during Isra Miraj.

But distance can never break this inner bond. Every breath I take, I whisper a prayer for you, Al-Aqsa. Every beat of my heart beats along with the footsteps of the mujahideen who are tirelessly guarding you. Every drop of my tears is a river of solidarity that flows to your land.

I will never be able to pray under the shade of your dome, but I can spread my prayer mat facing your direction. I will never be able to hear the call to prayer directly from your tower, but I can hear the call to prayer at the mosque near my house. I will never be able to hug your stones which hold the history of Islamic civilization, but I can hold the memory of you tightly in my mind.

Al-Aqsa, you are not only the first Qibla, but also the gate to the seventh heaven. Distance and time will never make me forget you. I will continue to pray, strive, and be patient, until the time comes when I can prostrate myself before you, kiss your sacred stones, and whisper thanks in a trembling voice, "O Allah, I have finally arrived..."

Until then, I will continue to witness your struggle from a distance. I will continue to tell my children about your greatness later, stories of extraordinary struggles and proof of the truth of the Qur'an. And I'm sure, the time is almost here, the Islamic warriors will soon liberate you, Al-Aqsa. They will rebuild your glory, and embrace you in the embrace of eternal peace.

And when that liberation comes, my voice will combine with millions of other voices, echoing the triumphant triumph beneath your majestic dome.[]

Mendeskripsikan Kerinduan terhadap Rumah Ibadah

Saya memberikan tugas kepada mahasiswa Basri Daham Journalists Institute (BJI) Lhokseumawe, Aceh, untuk melatih kemampuan deksripsi perasaan rindu, saya, dan cinta tanpa menyebutkan ketiga frasa tersebut dalam tulisan. Tugas ini menguji kemampuan mahasiswa dalam menulis secara detail.

Tulisan Khairul Sani Umraiti adalah tulisan ketiga yang saya ulas dalam postingan di Hive. Berbeda dengan dua tulisan sebelumnya yang mendeskripsikan rasa kepada manusia, Khairul Sani Umraiti menyasar rumah ibadah sebagai objek kerinduannya. Ada pesan-pesan damai dalam artikel Khairul Sani.

Penulisnya juga memiliki kemampuan deskripsi yang detail, termasuk untuk objek masjid yang belum pernah dilihatnya secara langsung. Membaca tulisannya dari awal sampai akhir, pembaca bisa menyimpulkan bahwa ada rasa rindu di sana.

Rindu Al-Aqsa

Oleh Khairul Sani Umraiti

Tanah zaitun, bisakah kau rasakan denyut jantungku dari kejauhan ini? Di sini, di bawah langit yang serupa, aku terjaga dengan sejuta bayang tentangmu. Laut Mediterania, bisakah kau sampaikan salamku pada ombakmu yang menjilat pantai Gaza? Di sini, ombak tak seganas deru tank dan pesawat tempur, tapi gemuruhnya tetap tak mampu meredam gemuruh di dadaku.

Di tanah Serambi Mekkah ini kulihat peristiwa genosida di layar kaca yang begitu menyayat hati, tak ada kata yang pantas kuucapkan selain "Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir". Di malam hari bulan bintang tanah Aceh menyaksikan hamparan doa untukmu wahai Al-Aqsa.

Di sini, suara lantunan ayat suci berpadu dengan alunan shalawat dan doa. Di sana, mungkin hanya ada desingan peluru dan jerit nestapa. Di sini, aku bebas bersujud di lantai masjid tanpa takut. Di sana, saudara-saudaraku mungkin harus sholat sembunyi-sembunyi, dalam ketakutan.

Oh, Al-Aqsa, jantungnya dunia, mengapa kau begitu jauh? Aku takkan pernah bisa menyentuh dindingmu yang disucikan air mata para nabi, mencium batu hitam Hajar Aswad yang menyimpan jejak langkah lbrahim dan Ismail. Aku takkan bisa bersandar pada mimbar kayu tempat Rasulullah memimpin sholat, mimbar yang sama didakinya saat Isra Miraj.

Tapi jarak takkan pernah bisa memutuskan ikatan batin ini. Setiap hela nafasku berbisik doa untukmu, Al-Aqsa. Setiap denyut jantungku berdetak seiring dengan derap langkah para mujahidin yang tak kenal lelah menjagamu. Setiap tetes air mataku adalah sungai solidaritas yang mengalir hingga ke tanahmu.

Aku takkan pernah bisa sholat di bawah naungan kubahmu, tapi aku bisa menggelar sajadahku menghadap arahmu. Aku takkan pernah bisa mendengar adzan langsung dari menaramu, tapi aku bisa mendengar lantunan azan mesjid dekat rumahku. Aku takkan pernah bisa memeluk batu-batumu yang menyimpan sejarah peradaban lslam, tapi aku bisa memeluk erat ingatan tentangmu dalam benakku.

Al-Aqsa, kau bukan hanya kiblat pertama, tapi juga gerbang langit ketujuh. Jarak dan waktu takkan pernah bisa membuatku melupakanmu. Aku akan terus berdoa, berikhtiar, dan bersabar, hingga tiba saatnya di mana aku bisa bersujud di hadapanmu, mencium batu-batumu yang suci, dan berbisik syukur dengan suara bergetar, "Ya Allah, akhirnya aku sampai..."

Sampai saat itu tiba, aku akan terus menjadi saksi perjuanganmu dari kejauhan. Aku akan terus bercerita tentang keagunganmu kepada anak- anakku nanti, kisah perjuangan yang luar biasa dan menjadi bukti kebenaran Al Qur'an. Dan aku yakin, waktunya hampir tiba, para pejuang umat lslam akan segera membebaskanmu, Al-Aqsa. Mereka akan membangun kembali kejayaanmu, dan mendekapmu dalam pelukan perdamaian abadi.

Dan ketika pembebasan itu tiba, suaraku akan berpadu dengan jutaan suara lainnya, menggemakan takbir kemenangan di bawah kubahmu yang agung.[]